21/03/2022

ARALEA | MELAWAN TAKDIR PART 1

 Novel Inspiratif

Bab 1 


Dari kejauhan tampak seorang gadis kecil berseragam putih merah sedang asyik berlarian bersama teman-temannya di halaman sekolah dasar sebuah daerah pinggiran kota besar. Gadis mungil dengan rambut diikat ekor kuda itu tertawa bahagia, sesekali ia menjerit ketika tangannya dapat disentuh oleh temannya yang lain. Mereka sedang bermain gobak sodor, permainan tradisional yang sering dimainkan oleh anak-anak. 

“Lea, kamu jaga di sini!” teriak temannya agar gadis kecil itu segera berdiri di garis yang ia tunjuk.

Gadis kecil itu pun berlari mendekati temannya, lalu berdiri di sana sebagai penjaga garis. Matanya sesekali melirik ke arah pagartepatnya pada seorang perempuan penjaja makanan. 

Aralea Agatha nama gadis kecil itu atau biasa dipanggil Lea. Ia seorang juara kelas meskipun dari keluarga yang sangat sederhana. Ayah Lea mempunyai darah bangsawan yang dikaruniai otak cemerlang. Tak heran, Lea mewarisi kepandaian sang ayah. Tidak hanya itu, ayah Leayang bekerja sebagai teknisi dan bertanggung jawab pada mesin berat itu menginspirasi Lea untuk menjadi seorang insinyur, cita-cita yang dipupuknya sejak kecil. Sementara itu, bundanya menambah pemasukan keuangan dengan menjual makanan. Bunda yang selalu menemani Lea ke sekolah sambil membawa makanan untuk dijajakan. Lea tentu senang karena sang bunda berada di dekatnya sepanjang hari. Akan tetapi, di sisi lain pikirannya terbelah: membantu Bunda atau bermain bersama teman-temannya.
 
Hari sudah siang, sekolah pun sepi, semua siswa SD Negeri 158 itu sedang belajar di dalam kelas. Tidak lama berselang, bel sekolah berbunyi, pertanda jam delajar sudah usai. Anak-anak berlarian ke luar kelas untuk segera pulang.
Lea berlari menghampiri Bunda yang sedang membereskan barang dagangan di luar pagar sekolah. Setiap hari Bunda berjualan di luar halaman sekolah itu untuk membantu perekonomian keluarganya.

"Bun, dagangannya habis?" Lea membantu Bunda memasukkan mangkuk-mangkuk kecil ke dalam tenong.

"Ini masih ada, sengaja Bunda siapkan untuk Lea," jawab Bunda dengan seulas senyum di bibirnya. 

Bunda menyodorkan semangkuk celimpungan ke hadapan Lea. Lea langsung menyantap makanan tradisional dagangan Bunda itu.

"Bagaimana tadi belajarnya?" tanya Bunda sambil mencuci mangkuk bekas makanannya.

"Bun, tadi Edi nggak hafal perkalian satu sampai sepuluh, terus nangis. Laki-laki, kan, nggak boleh nangis, cerita Lea berapi-api.

"Anak laki-laki, enggak boleh cengeng, ya, Bun?" Lea menatap Bunda yang mulai berkeringat dengan wajah bertanya-tanya.

"Siapa bilang anak laki-laki tidak boleh menangis? Boleh, kok. Yaa, asal jangan kelamaan, jelas Bunda. 

Di sepanjang perjalanan, Lea terus bercerita. Bunda mendengarkan dengan saksama walau agak kerepotan dengan tangan kanannya yang membawa bakul bundar berisi mangkuk-mangkuk dan barang lainnya, sedangkan tangan kirinya menggandeng Lea. 

Sesampainya di jalan raya, Bunda memperhatikan kondisi jalanan di kiri dan kanan. Setelah jalanan sepi, ia menggandeng Lea untuk menyeberang. Mereka pun berjalan masuk ke sebuah gang sempit menuju ke rumahnya.

Sesampai di rumah, Lea langsung mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian biasa. 

"Bun, Ayah nanti pulang jam berapa?" tanya Lea sambil memperhatikan Bunda yang sedang berwudu.

"Ayah pulangnya bulan depan, jawab Bunda. 

Lia hanya tercenung. Ada banyak hal yang ingin ia ceritakan pada ayahnya. Namun, harus ia pendam hingga sebulan kemudian. Sebenarnya, Lia ingin seperti teman-temannya yang setiap hari berkumpul dengan ayah dan ibunya. Namun, apa boleh buat, pekerjaan ayahnya di luar kota. 

"Ayo segera berwudu, kita salat Zuhur berjamaah!" ajak Bunda memutus lamunan Lea.

Lea menyantap makanan dengan lahap. Wajahnya terlihat segar setelah salat Zuhur. Makanan yang disantapnya hanya makanan sederhana, tetapi nikmatnya luar biasa. Memang benar, makanan terasa lebih lezat disantap ketika lapar. 

"Lea, kita main, yuk!" Lea melongok ke arah pintu depan. Dilihatnya Tuti sudah berdiri di depan pintu. Pandangan Lea beralih pada Bunda. 

"Bun, aku boleh main bersama Tuti?" tanya Lea dengan menatap Bunda penuh harap. 

Bunda tersenyum melihat Lea yang gelisah karena Tuti terus memanggilnya. Sambil membereskan piring Bunda berpesan, Boleh, tapi jangan jauh-jauh!

Lea bersorak gembira. Sementara itu, Bunda menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah Lea. Dengan tergesa Lea mencium tangan Bunda, lalu menemui Tuti yang menunggu di luar. 
Tuti mengajak Lea menemui teman-teman yang lain. Mereka berjalan sambil berceloteh riang. 

"Kita main ke sungai, yuk!" ajak Yadi, teman Tuti, sambil melambai pada teman-temannya yang lain. 

Beberapa bocah kecil itu berjalan menyusuri jalan raya menuju ke sebuah anak Sungai Musi, sungai terpanjang di Indonesia. Letaknya lumayan jauh dari rumah Lea.
Akhirnya, mereka sampai di sungai yang terdapat banyak rumah rakit berderet di sepanjang pesisir sungai. Tidak jauh dari sana terlihat sebuah jembatan berdiri megah. Di antara rumah-rumah rakit itu Tuti dan temannya yang lain terjun ke sungai, lalu berenang. Sementara itu, Lea hanya memandangi mereka dari teras pos kamling di tepian sungai.  

"Lea, ayo ke sini!" ajak Tuti.

"Aku tidak bisa berenang." Lea melambaikan tangannya. 

"Pakai bambu ini, nanti Lea bisa mengapung, tukas Tuti. 

Tuti menyodorkan sebuah bambu besar yang mengapung di dekatnya. Lea pun tergoda untuk ikut berenang. Ia terjun menghampiri bambu tersebut. Hanya saja, bambu itu tidak mampu menahan beban berat badan Lea. Lea masuk ke dalam air. Ia berusaha menggapai dan berusaha berteriak, tetapi justru air yang makin banyak masuk ke mulutnya. 

"Lea!" teriak Tuti. 

Tuti berenang mendekat, membantu menarik tangan Lea. Namun, tenaganya tidak cukup kuat. Tuti terseret air, tetapi ia masih bisa muncul ke permukaan karena bisa berenang. 

"Tolong!" teriak Tuti.

Teriakan Tuti tidak begitu terdengar jelas karena napasnya tersengal. Beberapa teman berlari mendekat. Mereka ikut berteriak karena panik. 

Tolong! 

Lea!

Tuti!

Suara riuh dari teman-teman Lea begitu melihat tubuh-tubuh kecil itu timbul tenggelam dalam air. Wajah mereka seketika pucat ketika tubuh Lea tak juga kelihatan. Dengan panik, sebagian bocah-bocah itu berlarian ke sekitar rumah penduduk. Sementara itu, yang lain tetap di sekitar sungai sambil tak berhenti berteriak. 

"Tolong!" Salah satu teman Lea menunjuk ke arah sungai begitu seorang lelaki muda datang. 

Tanpa banyak bertanya, lelaki muda itu berlari langsung dan terjun ke sungai menolong Lea yang tenggelam. Sementara itu, Tuti berhasil ditarik seorang warga yang datang kemudian.

Lelaki muda itu menggendong dan membaringkan Lea di bale pos kamling. Dengan cekatan ia mengangkat kaki Lea sejajar dengan tubuhnya. Sesaat kemudian, Lea terbatuk dan mengeluarkan air dari mulutnya. 

Lea mengerjapkan mata. Ya, ia mulai mengingat apa yang terjadi pada dirinya. Matanya mulai berkaca-kaca saat seorang lelaki muda menyodorkan segelas teh padanya. Tubuhnya bergetar saat mulai mencecap manis dan hangatnya teh itu. Teh itu mengingatkan Lea pada sosok Bunda. Ya, Bunda yang telah mengingatkannya agar tidak main terlalu jauh.

Lea berjalan tertatih-tatih dengan baju yang basah kuyup. Ia menahan dingin yang seakan-akan menembus tulangnya. Langkahnya terhenti di depan rumah. Keraguan menyelinap di hati gadis kecil itu. Ia berjalan perlahan. 

"Lea, kenapa bajunya basah?" Suara Bunda membuat Lea kaget. Ia perempuan di hadapannya dengan sedikit takut. Apakah Bunda akan marah?

"Bun, tadi aku main di sungai, ujar Lea dengan suara lirih, menahan tangis."

"A-a-aku hampir tenggelam."

"Apa? " Mata Bunda membulat. 

Wanita itu melihat putrinya yang menggigil dengan mata berkaca-kaca. Ingin sekali Bunda marah, tetapi melihat putrinya selamat, kemarahan itu lenyap. 

"Lea." Bunda mendekat dan memeluk Lea. 

Seketika pecah tangis Lea yang sudah tertahan sejak tadi. Gadis kecil itu berkutat dengan rasa takut sekaligus menyesal karena melanggar janjinya. 

"Maafin Lea, Bun.”

Bunda menepuk punggung Lea. Kemudian, di tatapnya Lea sambil memegang bahu bocah itu.

"Lea, Bunda khawatir sekali. Bunda maafin, tapi Lea janji harus nurut sama Bunda, ya?" Bunda mengembuskan napas pelan ketika melihat Lea mengangguk. 

Betapa tidak mudah bagi Bunda untuk membagi waktu: membereskan pekerjaan rumah tangga dan memperhatikan keempat anaknya. Apalagi, ia juga harus menyiapkan makanan untuk dijual. Sementara itu, ayah Lea bekerja di luar kota. Entahlah, Bunda hanya berharap semua baik-baik saja. 

Channel Education



Resensi

26/11/2020

PERJALANAN HAMBA TUHAN (PART ONE)

PENCARIAN JATI DIRI

      Aku di lahirkan di sebuah kota kecil yang berada di Sumatera bagian Selatan. Aku adalah anak keempat dari empat bersaudara. Sejak kecil kami diajarkan untuk selalu belajar dan belajar. Pendidikan yang diajarkan di dalam keluarga tergolong pendidikan yang keras dengan disiplin yang ketat dan bernuansa adab keraton menyebabkan aku dan ketiga kakakku tumbuh menjadi anak-anak yang insya Allah memahami adab timur, walau lingkungan sekitar tergolong ekstrim. 

      Aku dibesarkan dari keluarga yang sangat sederhana, ayahku adalah seorang yang pintar tetapi kurang beruntung sehingga semua pekerjaan yang pernah menjanjikan kehidupan yang layak untuk keluarga berakhir dengan begitu saja karena alasan kurang jelas. Ayahku adalah seorang yang berdarah biru, beliau terlahirkan dari keturunan Pangeran Diponegoro. Eyang putriku adalah keturunan kelima dari Ontowiryo/Bendoro Raden Mas Mustahar (Pangeran Diponegoro) yang menikah dengan seorang putra kesultanan Bacan, Ternate. Ayahku sangat lancar dalam berbahasa Belanda dan sangat menjunjung tinggi adat dan tradisi Jawa. Sedangkan ibuku adalah seorang wanita tegar yang lahir dari sebuah keluarga melayu sederhana dan agamis. Ibuku bisa menguasai berbagai bahasa daerah diantaranya bahasa Padang, Bugis dan beberapa bahasa daerah lainnya. Aku sayang sekali sama ibuku ‘juga ayahku’.

     Saat aku memasuki dunia remaja aku terpisah dari keluargaku, aku diasuh oleh kakaknya ibuku (uwak) yang berada jauh dari kota kelahiranku. Selama 6 tahun, mulai dari SMP sampai SMA aku tinggal bersama keluarga ‘uwak’ku (aku memanggilnya ayah). Awalnya ayahku tidak setuju melepaskanku, tetapi karena diriku mau tinggal bersama ‘uwak’ maka ayahku akhirnya setuju. Selama tinggal bersama dengan uwak (ayah baruku), banyak pelajaran tentang hidup kudapat yang baru kusadari saat aku sudah dewasa. Dalam benakku saat itu hanya punya satu keinginan yaitu belajar, aku harus pintar agar aku bisa hidup layak di kemudian hari. Saat aku duduk di kelas 2 SMP ayahku meninggal karena sakit yang komplikasi, aku sedih. Tapi itu tidak menyurutkanku untuk tetap belajar dan belajar. 

     Menurut guruku, aku adalah anak yang lumayan diperhitungkan. Nilai Matematika-ku di NEM (Nilai Evaluasi Murni) ketika SMP mencapai angka 9,20, karena memang sejak kecil aku sudah diajarkan Matematika. Sehingga di Sekolah Menengah Lanjutan Atas (SMA) aku ditempatkan di kelas unggulan di salah satu Sekolah unggulan di daerah tersebut. Ketika di kelas 2 SMA aku dikelompokkan ke dalam kelas dengan jurusan A-1 yaitu jurusan Fisika. Kelas ini adalah kelas bergengsi, karena di dalamnya terdapat siswa-siswa yang berprestasi. Kemudian aku lulus ujian dengan Nilai Evaluasi Murni yang memuaskan, nilai Bahasa Inggrisku mencapai nilai 9,25. Kemudian aku pun mengikuti bimbingan belajar untuk persiapan masuk perguruan tinggi negeri. Setelah lulus SMA aku kembali ke pangkuan ibuku dan tanpa seorang ayah. Dengan melalui proses yang panjang akhirnya aku masuk perguruan tinggi negeri yang berada di kota kelahiranku itu. 

       Aku diterima di Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), jurusan Kimia, Ketika itu FMIPA belum menjadi Fakultas karena masih bergabung dengan Fakultas Teknik sebagai Program Studi (PRODI). Aku masuk ke dalam almamaterangkatan ke-4 pada Fakultas MIPA jurusan Kimia. Saat Ujian Masuk Masuk Perguruan Tinggi Negeri (UMPTN) aku memilih Fakultas Teknik Jurusan Kimia sebagai pilihan utama, sedangkan pilihan keduanya adalah Fakultas MIPA Jurusan Kimia. Alhamdulillah nilai hasil UMPTN menempatkan posisiku di PTN tersebut pada pilihan kedua. Sedikit kecewa, tetapi tetap bersyukur karena yakin bahwa Allah mengabulkan salah satu doa-doaku ketika di bangku SMA. 

      Selama satu tahun kuliah, aku masih punya obsesi tetap ingin kuliah di Fakultas Teknik Jurusan Kimia. Di dalam benak tetap bersemayam rencana untuk mengulang ujian masuk perguruan tinggi negeri pada tahun berikutnya. Berbagai persiapan telah ditempuh untuk mewujudkan rencana tersebut. Namun Allah punya rencana lain, ketika saatnya tiba untuk mengikuti ujian masuk perguruan tinggi negeri terdapat peraturan baru dalam hal pembayaran uang kuliah per semesternya. Setelah dihitung-hitung ternyatakan mengalami kenaikan hampir 100 % (dua kali lipat) dari bayaran sebelumnya. Hal ini yang mengurungkan langkah untuk mengikuti ujian lagi. Dengan menenangkan diri bahwa pasti Allah ada rencana tersendiri untuk masa depan di kemudian hari. Akhirnya aku melanjutkan kuliah di Fakultas MIPA Jurusan Kimia tersebut sampai selesai.

       Untuk membiayai kuliah, ibuku yang menggantikan posisi ayah sebagai kepala keluarga. Ibuku berjualan makanan untuk mendapatkan uang agar kuliahku dapat berjalan dengan lancar. Sesekali aku membantu ibu dalam membuat makanan-makanan itu. Begitu hebatnya ibuku yang mau kerja keras demi aku yang ingin mengenyam bangku kuliah. Suatu saat ketika aku memasuki tahapan akhir kuliah, aku harus mendapatkan mata kuliah Kuliah Kerja Nyata (KKN). Ketika itu aku harus berpisah jauh dari ibuku karena mata kuliah tersebut mengharuskah aku dan teman-teman yang lain tinggal di sebuah desa selama 3 bulan. Berbagai peristiwa yang hampir merenggut nyawaku terjadi. Saat itu aku berpikir bahwa Allah sangat sayang sekali pada aku dan ibuku, karena aku selalu dalam perlindungan-Nya. Seandainya berbagai hal itu terjadi padaku, begitu terpukulnya ibuku karena belum tuntas menyelesaikan tugasnya sebagai ibu sekaligus ayah sedangkan aku adalah anak satu-satunya yang duduk dan menikmati dunia perkuliahan. Ya Rabb terimah kasih Kau telah mencintai ibuku dan aku. Semoga akupun selalu mencintai Mu dalam suasana sedih dan bahagia, aamiin.

     Setelah lulus kuliah, terjadi pergolakan reformasi, terjadi perubahan orde baru menjadi orde reformasi dengan ditandai lengsernya Bapak Presiden yang kedua, Bapak Soeharto. Sehingga aku pun belum bisa berkecimpung di dunia kerja. Aku pernah ikut tes di beberapa perusahaan BUMN yang berada di kotaku, tetapi selalu gagal pada wawancara dan faktor yang lain (jilbab_asumsi penulis). Akhirnya aku pun ikut membantu kakakku yang bergerak di bidang percetakan, sehingga pengalamanku tentang pengetikan komputer lumayan baik. Karena jenuh akhirnya aku pun merantau ke pulau Jawa, Surabaya adalah sasaranku. Selama 6 bulan di Surabaya, aku tinggal bersama Om dan sepupu-sepupu sambil aku berusaha mencari pekerjaan. Selama itu pula aku tidak mendapatkan pekerjaan alias menganggur. Apa yang salah dalam diriku? 

       Kemudian aku pun merambah ke ibukota Jakarta, karena diajak seorang teman kuliahku yang sudah terlebih dahulu tinggal di Jakarta. Temanku menawarkan suatu pekerjaan di dunia kependidikan, yaitu mengajar les private. Hasil yang didapat dari les private tidak begitu menjanjikan, tetapi mencukupi untuk bisa mandiri. Di Jakarta aku hanya bertahan selama 6 bulan dan akupun pindah ke Bekasi, tetapi profesi sebagai pengajar les private tetap dijalani. Saat tinggal di Bekasi aku mendapatkan lowongan kerja sebagai guru di salah satu SMA Swasta Islam di Tangerang. Guru adalah profesi yang sangat jauh dari bayanganku. Tujuanku hanya satu sehingga aku menerima pekerjaan tersebut. Aku ingin belajar berargumentasi di muka umum agar aku bisa percaya diri. Walaupun secara pengetahuan aku bukan berasal dari fakultas keguruan, tetapi bidangku adalah ilmu murni (MIPA).

      Pengalamanku pertama kali mengajar di depan kelas sungguh sangat fantastis. Aku pernah mengajar di depan kelas, tetapi pada suatu bimbingan belajar bukan di sekolah. Aku harus membeli sebuah rok panjang, karena selama ini pakaianku selalu casual dengan mengenakan celana panjang. Sementara di sekolah aku harus menggunakan pakaian yang resmi dan sopan. Usia anak didikku tidak jauh terpaut dari usiaku, karena aku mengajar dari kelas Satu sampai kelas Tiga. Fostur tubuh anak didikku lebih besar dari fostur tubuhku yang imut. Tetapi dengan semangat aku harus berwibawa di depan anak-anak didikku. Akhirnya aku berhasil melalui fase tersebut tanpa meninggalkan kesan negatif.

       Modalku dalam mengajar hanya satu, selain ilmuku yang kudapatkan saat di bangku kuliah aku juga menirukan bagaimana guru favoritku dulu mengajar (Guru Fisika). Dulu saat aku sekolah aku selalu mempunyai guru idola, guru pelajaran eksakta dan matematika selalu menjadi guru idolaku. Ketika memberikan materi pelajaran, saat itu yang tergambarkan di kepalaku hanyalah metode pengajaran sang guru idola. Alhamdulillah masa itu pun berhasil kulalui dengan bahagia. Awalnya dalam benakku, mengajar hanya profesi sampinganku saja. Dan aku tetap mencari pekerjaan yang menurutku sesuai dengan jurusanku. Tetapi seiring dengan berjalannya waktu dan berbagai nasehat dari seorang yang tak kukenal, akhirnya aku menyadari bahwa duniaku yang sebenarnya adalah di dunia kependidikan. Sejak awal aku mengajar di sekolah tersebut sebenarnya sudah merasakan bahagia dan menikmati apa yang kukerjakan, tetapi karena di luar sana banyak pekerjaan yang menjanjikan uang yang banyak membuat pemikiranku menjadi seorang materialistis. Alhamdulillah Allah telah membuka hatiku sehingga aku dapat merasakan nikmatnya bersama-sama dengan anak didikku, walaupun kesejahteraan tidak begitu menjanjikan. Tetapi kebahagiaan rohaniahlah yang harus dikedepankan. Begitu bahagianya hati ini saat aku bisa berbagi dengan orang lain, apalagi itu adalah anak didikku.

      Kebahagiaan yang sebenarnya adalah ketika melihat anak-anak didikku tersenyum dan bahagia. Aku bisa merasakan betapa indahnya saat kita dibutuhkan oleh orang lain. Betapa berartinya diri ini saat anak didikku mau berbagi cerita tentang dirinya. Betapa beruntungnya aku karena Allah telah menunjukkan jalan hidupku yang sebenarnya. Inilah takdirku yang harus kusyukuri dengan sedalam-dalamnya syukur. 

Alhamdulillah....... 

       Walaupun kata orang kesejahteraan dari profesi sebagai seorang guru tidak bisa menjamin kehidupan yang sejahtera, tetapi bagiku yang terpenting adalah berkah yang diberikan oleh Allah SWT., itu sudah cukup menjamin bagi hidupku. Setiap rizki yang disebar oleh Allah tidak akan pernah tertukar. “Maka nikmat Ku yang manakah yang kau dustakan?” ini adalah petikan salah satu ayat dari Alqur’an surat. Ar-Rahman. Bersyukur kepada Allah itu sangat penting, dan merupakan kunci sukses seseorang menjadi hamba Allah yang beriman.

 


MUQODDIMAH

 

Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh...

Alhadulillahi rabbil aalamiin, innalhamdalillaahi nahmaduhu wanastainuhu wanastaghfiru, wanaudzubillaahi minsyururi anfusina waminsayyiati a'malina, mayyadihillahu fala mudhillala wamayyuddhlil fala hadiyalah.

HOME

SELAMAT DATANG 

DI

STORY BOARD


MENJADI GURU

"ANTARA KETETAPAN ALLAH DENGAN KEINGINAN DAN KEBUTUHAN"


Blog ini memuat tentang riwayat penulisan buku


ARALEA | MELAWAN TAKDIR PART 1

 Novel Inspiratif Bab 1  ARALEA Dari kejauhan tampak seorang gadis kecil berseragam putih merah sedang asyik berlarian bersama teman-temanny...